UU Desa yang disahkan pada tanggal 18 Desember 2013 lalu sesungguhnya dibuat
setelah menyerap pemikiran dan pengalaman bermacam proses pemberdayaan.
Sejumlah workshop diadakan untuk kepentingan itu, termasuk workshop
Progress Update Agenda Kerja Prioritas Kelompok Kerja Kebijakan Program
Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan oleh POKJA Pengendali TNP2K, yang
diikuti penulis pada 24 Mei 2013 lalu. Disusul oleh berbagai pertemuan Tim
Perumus RUU dari DPR, dan konsultasi sana-sini.
Subjek Pembangunan
Demi menjadikan desa sebagai subjek pembangunan, maka beberapa klausul kunci
mengenai kelembagaan, good governance, demokratisasi pengambilan
keputusan dan perencanaan diatur cukup lugas dalam UU ini. Jadi, UU Desa ini
sebenarnya bukan melulu mengatur pemindahan pengelolaan APBN ke kas desa
sebagaimana yang diributkan banyak kalangan.
Alokasi dana menjadi salah satu instrumen penting untuk mewujudkan desa yang
berdaulat, dan menerapkan mekanisme pembangunan yang mengandalkan jaringan
kerja (networking) dengan banyak pihak, partisipatif, dan tidak hierarchies
(top-down). LPM/ Pokmas sebagai
Civil Society Organization (CSO) adalah salah satu mitra kerja
strategis pemerintah desa, agar desa terhindar dari stigma objek pembangunan.
Pasal 72 UU Desa memang menyebutkan bahwa Dana Alokasi Desa berasal 10% dana
transfer daerah (APBN) dan bakal dibagi ke 72.000 desa. So, tiap desa
akan menerima Rp0,7 - 1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan
dan luasnya wilayah. Menurut Khudori (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia/AEPI;
Media Indonesia Januari 2013), alokasi sebesar itu diharapkan mengembalikan
kekuatan sektor pertanian dan membalik arah pembangunan dari sektor non-tradable
(jasa, keuangan, perdagangan, transportasi, komunikasi, hotel, restoran dan
pariwisata) ke sektor tradable (pertanian, pertambangan dan
manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.
Desa benar-benar akan dijadikan ujung tombak pembangunan, berbekal APBN yang
dulunya masih dianggap mimpi di siang bolong bisa masuk desa. Konon langkah ini
akan efektif menghambat laju urbanisasi dan “tren pengiriman TKI” ke negeri
seberang.
Lihat saja urbanisasi di ibukota meningkat pesat akibat pembangunan yang
meninggalkan desa. Terbukti, DKI Jakarta dihuni 12,7 juta penduduk di siang
hari dan 9,7 juta di malam hari (Koran Sindo, 27 Agustus 2013). Padahal tahun
2010 lalu hanya 8,5 juta penduduk yang bermukim di DKI (jakartabps.go.id).
Fakta ini melengkapi data tingkat urbanisasi di semua kawasan perkotaan
nusantara yang mencapai 48.3 % (Susenas, 2010).
Artinya, desa yang identik dengan pertanian itu selama ini telah
ditelantarkan. Kini telah muncul kesadaran untuk back to rural agar
pembangunan tetap berlangsung disana menggunakan kekayaan lokal yang dipunya.
Kalau perlu memanggil pulang para ahli pembangunan yang terlanjur berdomisili
di kota untuk
membangun desa kelahirannya.
Menajamkan Kesiapan LPM dan Pokmas
Seberapa siapkah LPM/ Pokmas mampu turut membawa desa keluar dari
berbelitnya persoalan? Fakta menunjukkan bahwa sejauh ini BKM telah mampu
memengaruhi pengambilan keputusan di sejumlah desa. Tentu saja ruang yang makin
diperluas oleh UU Desa merupakan tantangan tersendiri bagi kita untuk mendorong
PJM Pronangkis berkualitas makin mewarnai pembangunan desa. Oleh sebab itu,
berikut adalah isu-isu strategis kelembagaan dan perencanaan partisipatif LPM/
Pokmas yang harus dipersiapkan untuk dipertajam:
Pertama, LPM/ Pokmas mesti proaktif dalam Musyawarah Desa. Sebagai Civil
Society Organization (CSO), LPM/
Pokmas mesti bergerak fleksible sebagai co - management pembangunan,
akan makin memiliki ruang formal untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan
dalam Musyawarah Desa. Pada tahap perencanaan, LPM/ Pokmas sebagai unsur
masyarakat berkesempatan untuk mengintegrasikan PJM Pronangkis, Rencana
Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP) atau Rencana Tindak Penataan Lingkungan
Permukiman (RTPLP) ke dalam perencanaan desa, kerja sama antardesa, rencana
investasi yang akan masuk ke desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa atau
penambahan dan pelepasan aset desa. Musyawarah Desa ini menurut Pasal 54 ayat 1
dan 2 diikuti oleh BPD, Kepala Desa dan unsur masyarakat
Kedua, LPM/ Pokmas mesti mengintegrasikan PJM Pronangkis dengan
Perencanaan Pembangunan Desa agar pro poor, berdampak langsung pada
kesejahteraan (sebagaimana amanah Pasal 78), dan mengacu pada perencanaan
pembangunan kabupaten/kota (Pasal 79). Perencanaan Pembangunan Desa tersebut
disusun secara berjangka terdiri dari: (a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa (RPJMDes) untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan (b). Rencana Pembangunan
Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa),
sebagai penjabaran dari RPJMDes.
Merespon ketentuan ini, maka PJM Pronangkis dapat saja dibuat berdurasi 6
tahun, jika hendak menyesuaikan usia perencanaannya. Atau mengambil mid-term
evaluation planning-nya RPJM Desa jika ingin tetap mempertahankan jangka
waktu 3 tahun.
Ketiga, LPM/ Pokmas semakin mengasah PJM Pronangkisnya agar tetap
fleksibel merespon dinamika zaman. Dibutuhkan prakarsa-prakarsa inovatif untuk
merawat PJM Pronangkis agar visioner dalam menjawab berbagai tantangan
globalisasi. Isu-isu strategis yang diprediksikan datang dalam trend 5-10 tahun
ke depan dihadirkan, sehingga PJM Pronangkis tetap “bergigi” dan tak lekang
ditelan masa. Sebab varian alternatif untuk menjawabnya telah tersedia di
dalamnya.
Isu-isu seperti penanggulangan kemiskinan berorientasi kawasan (tidak
sektoral dan parsial), responsif gender, mengedepankan mitigasi bencana dan
bahaya (hazard), serta menjaga keberlanjutan penghidupan (sustainable
livelihood) berbasis mata pencaharian harus mempertajam arah PJM. Tajamnya
PJM Pronangkis ini niscaya akan mengoptimalkan kualitas RPJM Desa dan
menghindarkannya dari bentuk perencanaan yang melulu daftar kegiatan (shopping
list), reaktif dan tidak menggambarkan visi desa.
Jika tahun 2015 kelak PNPM Mandiri Perdesaan benar-benar pergi meninggalkan
desa dampingan, niscaya LPM/ Pokmas dan PJM Pronangkis menjadi aset berharga
sebagai jejak pendampingan. Boleh saja Pasal 76 UU Desa menyebutkan bahwa aset
desa dapat berbentuk tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan,
tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian,
hutan desa, mata air desa, pemandian umum, dan beragam aset tangible
lainnya.
Namun, LPM/ Pokmas dan PJM Pronangkis adalah aset intangible yang jauh lebih
berharga karena mampu melembagakan system pengambilan keputusan demokratis,
baik dalam pemilihan pemimpin maupun dalam perumusan perencanaannya.
Apalagi UU Desa saat ini mengedepankan dua azas utama, yaitu azas rekognisi
dan subsidiaritas (Sudjatmiko; 2014), ketimbang azas desentralisasi. Azas
rekognisi dikenali sebagai pengakuan terhadap keragaman budaya, kearifan lokal
(local wisdom), hak asal-usul, prakarsa, produk hukum dan kelembagaan
desa. Sedangkan azas subsidiaritas adalah azas yang memelihara kewenangan lokal
untuk mandiri dalam menjalankan segala urusan lokal. Kedua azas tersebut
memungkinkan BKM yang telah melembaga untuk diakui eksistensinya dalam
membangun kemandirian.
Agenda Mendesak
Dengan berlaku efektifnya UU Desa berikut penganggarannya tahun 2015 nanti,
maka Pasal 200 hingga Pasal 216, yang berkaitan dengan desa dalam UU no.32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah benar-benar dicabut (Pasal 121 UU Desa).
Untuk sementara ini kekuatan hukum UU Pemda diambil sebagian karena tidak
kunjung menjawab kebutuhan rakyat desa, meskipun PP no 72 Tahun 2005 tetap
berlaku untuk mengisi kekosongan, asalkan tidak bertentangan dengan UU Desa.
Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah bagaimana mempersiapkan
Peraturan Pemerintah (PP) agar UU Desa segera beroperasi. Tercatat ada 3-4 PP
yang harus dibuat, yaitu PP Tata Cara Pemilihan Kepala Desa serentak, PP
tentang Perangkat Desa, PP Musyawarah desa, PP Keuangan Desa, dan PP
Pengelolaan kekayaan desa.
PP yang paling penting dan memerlukan sumbangsih pemikiran dari para aktivis
pemberdayaan (termasuk para pegiat PNPM Mandiri Perkotaan) adalah PP tentang
Musyawarah Desa (Pasal 47) dan PP Pengelolaan kekayaan desa (Aset Desa – Pasal
77). Kedua PP tersebut akan amat menentukan keberlanjutan pemberdayaan
masyarakat desa berlangsung secara partisipatif, demokratis, dan transparan.
Bahkan jika konsisten, PP-PP tersebut dapat menghancurkan feodalisme
kepemimpinan desa (Sudjatmiko;2014). Oleh sebab itu, pola-pola pemberdayaan
masyarakat yang telah diterapkan oleh PNPM Perkotaan yang kaya akan lesson
learned sebaiknya turut mewarnai kedua PP tersebut.
Ayo temans, setengah masa depan rakyat desa ada di pundak kita.
Kini bukan lagi eranya para buruh tani terperangkap cemeti dan roda pedati;
menyeringai nyeri menahan lapar di lumbung padi.
0 comments:
Posting Komentar