iklan saya

Berita Desa

Selasa, 11 Maret 2014

LPM dan Pokmas Harus Siap Jalankan UU Desa

UU Desa yang disahkan pada tanggal 18 Desember 2013 lalu sesungguhnya dibuat setelah menyerap pemikiran dan pengalaman bermacam proses pemberdayaan. Sejumlah workshop diadakan untuk kepentingan itu, termasuk workshop Progress Update Agenda Kerja Prioritas Kelompok Kerja Kebijakan Program Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan oleh POKJA Pengendali TNP2K, yang diikuti penulis pada 24 Mei 2013 lalu. Disusul oleh berbagai pertemuan Tim Perumus RUU dari DPR, dan konsultasi sana-sini.

Subjek Pembangunan
Demi menjadikan desa sebagai subjek pembangunan, maka beberapa klausul kunci mengenai kelembagaan, good governance, demokratisasi pengambilan keputusan dan perencanaan diatur cukup lugas dalam UU ini. Jadi, UU Desa ini sebenarnya bukan melulu mengatur pemindahan pengelolaan APBN ke kas desa sebagaimana yang diributkan banyak kalangan.
Alokasi dana menjadi salah satu instrumen penting untuk mewujudkan desa yang berdaulat, dan menerapkan mekanisme pembangunan yang mengandalkan jaringan kerja (networking) dengan banyak pihak, partisipatif, dan tidak hierarchies (top-down). LPM/  Pokmas sebagai Civil Society Organization (CSO) adalah salah satu mitra kerja strategis pemerintah desa, agar desa terhindar dari stigma objek pembangunan.
Pasal 72 UU Desa memang menyebutkan bahwa Dana Alokasi Desa berasal 10% dana transfer daerah (APBN) dan bakal dibagi ke 72.000 desa. So, tiap desa akan menerima Rp0,7 - 1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan dan luasnya wilayah. Menurut Khudori (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia/AEPI; Media Indonesia Januari 2013), alokasi sebesar itu diharapkan mengembalikan kekuatan sektor pertanian dan membalik arah pembangunan dari sektor non-tradable (jasa, keuangan, perdagangan, transportasi, komunikasi, hotel, restoran dan pariwisata) ke sektor tradable (pertanian, pertambangan dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.
Desa benar-benar akan dijadikan ujung tombak pembangunan, berbekal APBN yang dulunya masih dianggap mimpi di siang bolong bisa masuk desa. Konon langkah ini akan efektif menghambat laju urbanisasi dan “tren pengiriman TKI” ke negeri seberang.
Lihat saja urbanisasi di ibukota meningkat pesat akibat pembangunan yang meninggalkan desa. Terbukti, DKI Jakarta dihuni 12,7 juta penduduk di siang hari dan 9,7 juta di malam hari (Koran Sindo, 27 Agustus 2013). Padahal tahun 2010 lalu hanya 8,5 juta penduduk yang bermukim di DKI (jakartabps.go.id). Fakta ini melengkapi data tingkat urbanisasi di semua kawasan perkotaan nusantara yang mencapai 48.3 % (Susenas, 2010).
Artinya, desa yang identik dengan pertanian itu selama ini telah ditelantarkan. Kini telah muncul kesadaran untuk back to rural agar pembangunan tetap berlangsung disana menggunakan kekayaan lokal yang dipunya. Kalau perlu memanggil pulang para ahli pembangunan yang terlanjur berdomisili di kota untuk membangun desa kelahirannya.

Menajamkan Kesiapan LPM dan Pokmas
Seberapa siapkah LPM/ Pokmas mampu turut membawa desa keluar dari berbelitnya persoalan? Fakta menunjukkan bahwa sejauh ini BKM telah mampu memengaruhi pengambilan keputusan di sejumlah desa. Tentu saja ruang yang makin diperluas oleh UU Desa merupakan tantangan tersendiri bagi kita untuk mendorong PJM Pronangkis berkualitas makin mewarnai pembangunan desa. Oleh sebab itu, berikut adalah isu-isu strategis kelembagaan dan perencanaan partisipatif LPM/ Pokmas yang harus dipersiapkan untuk dipertajam:
Pertama, LPM/ Pokmas mesti proaktif dalam Musyawarah Desa. Sebagai Civil Society Organization (CSO),  LPM/ Pokmas mesti bergerak fleksible sebagai co - management pembangunan, akan makin memiliki ruang formal untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan dalam Musyawarah Desa. Pada tahap perencanaan, LPM/ Pokmas sebagai unsur masyarakat berkesempatan untuk mengintegrasikan PJM Pronangkis, Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP) atau Rencana Tindak Penataan Lingkungan Permukiman (RTPLP) ke dalam perencanaan desa, kerja sama antardesa, rencana investasi yang akan masuk ke desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa atau penambahan dan pelepasan aset desa. Musyawarah Desa ini menurut Pasal 54 ayat 1 dan 2 diikuti oleh BPD, Kepala Desa dan unsur masyarakat
Kedua, LPM/ Pokmas mesti mengintegrasikan PJM Pronangkis dengan Perencanaan Pembangunan Desa agar pro poor, berdampak langsung pada kesejahteraan (sebagaimana amanah Pasal 78), dan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota (Pasal 79). Perencanaan Pembangunan Desa tersebut disusun secara berjangka terdiri dari: (a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan (b). Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), sebagai penjabaran dari RPJMDes.
Merespon ketentuan ini, maka PJM Pronangkis dapat saja dibuat berdurasi 6 tahun, jika hendak menyesuaikan usia perencanaannya. Atau mengambil mid-term evaluation planning-nya RPJM Desa jika ingin tetap mempertahankan jangka waktu 3 tahun.
Ketiga, LPM/ Pokmas semakin mengasah PJM Pronangkisnya agar tetap fleksibel merespon dinamika zaman. Dibutuhkan prakarsa-prakarsa inovatif untuk merawat PJM Pronangkis agar visioner dalam menjawab berbagai tantangan globalisasi. Isu-isu strategis yang diprediksikan datang dalam trend 5-10 tahun ke depan dihadirkan, sehingga PJM Pronangkis tetap “bergigi” dan tak lekang ditelan masa. Sebab varian alternatif untuk menjawabnya telah tersedia di dalamnya.
Isu-isu seperti penanggulangan kemiskinan berorientasi kawasan (tidak sektoral dan parsial), responsif gender, mengedepankan mitigasi bencana dan bahaya (hazard), serta menjaga keberlanjutan penghidupan (sustainable livelihood) berbasis mata pencaharian harus mempertajam arah PJM. Tajamnya PJM Pronangkis ini niscaya akan mengoptimalkan kualitas RPJM Desa dan menghindarkannya dari bentuk perencanaan yang melulu daftar kegiatan (shopping list), reaktif dan tidak menggambarkan visi desa.
Jika tahun 2015 kelak PNPM Mandiri Perdesaan benar-benar pergi meninggalkan desa dampingan, niscaya LPM/ Pokmas dan PJM Pronangkis menjadi aset berharga sebagai jejak pendampingan. Boleh saja Pasal 76 UU Desa menyebutkan bahwa aset desa dapat berbentuk tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan desa, mata air desa, pemandian umum, dan beragam aset tangible lainnya.
Namun, LPM/ Pokmas dan PJM Pronangkis adalah aset intangible yang jauh lebih berharga karena mampu melembagakan system pengambilan keputusan demokratis, baik dalam pemilihan pemimpin maupun dalam perumusan perencanaannya.
Apalagi UU Desa saat ini mengedepankan dua azas utama, yaitu azas rekognisi dan subsidiaritas (Sudjatmiko; 2014), ketimbang azas desentralisasi. Azas rekognisi dikenali sebagai pengakuan terhadap keragaman budaya, kearifan lokal (local wisdom), hak asal-usul, prakarsa, produk hukum dan kelembagaan desa. Sedangkan azas subsidiaritas adalah azas yang memelihara kewenangan lokal untuk mandiri dalam menjalankan segala urusan lokal. Kedua azas tersebut memungkinkan BKM yang telah melembaga untuk diakui eksistensinya dalam membangun kemandirian.

Agenda Mendesak
Dengan berlaku efektifnya UU Desa berikut penganggarannya tahun 2015 nanti, maka Pasal 200 hingga Pasal 216, yang berkaitan dengan desa dalam UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah benar-benar dicabut (Pasal 121 UU Desa). Untuk sementara ini kekuatan hukum UU Pemda diambil sebagian karena tidak kunjung menjawab kebutuhan rakyat desa, meskipun PP no 72 Tahun 2005 tetap berlaku untuk mengisi kekosongan, asalkan tidak bertentangan dengan UU Desa.
Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah bagaimana mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) agar UU Desa segera beroperasi. Tercatat ada 3-4 PP yang harus dibuat, yaitu PP Tata Cara Pemilihan Kepala Desa serentak, PP tentang Perangkat Desa, PP Musyawarah desa, PP Keuangan Desa, dan PP Pengelolaan kekayaan desa.
PP yang paling penting dan memerlukan sumbangsih pemikiran dari para aktivis pemberdayaan (termasuk para pegiat PNPM Mandiri Perkotaan) adalah PP tentang Musyawarah Desa (Pasal 47) dan PP Pengelolaan kekayaan desa (Aset Desa – Pasal 77). Kedua PP tersebut akan amat menentukan keberlanjutan pemberdayaan masyarakat desa berlangsung secara partisipatif, demokratis, dan transparan. Bahkan jika konsisten, PP-PP tersebut dapat menghancurkan feodalisme kepemimpinan desa (Sudjatmiko;2014). Oleh sebab itu, pola-pola pemberdayaan masyarakat yang telah diterapkan oleh PNPM Perkotaan yang kaya akan lesson learned sebaiknya turut mewarnai kedua PP tersebut.
Ayo temans, setengah masa depan rakyat desa ada di pundak kita. Kini bukan lagi eranya para buruh tani terperangkap cemeti dan roda pedati; menyeringai nyeri menahan lapar di lumbung padi.

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes